Bagaimana memadukan sains dengan
agama, sementara sains bicara 'bisa atau tidak', sedang agama bicara 'boleh atau tidak'? Menurut Dosen Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta dan Peneliti Tamu PUSAD Paramadina Jakarta, Zainal Abidin Bagir, bukan
hanya terkait kedua hal tersebut, timbul juga soal benar atau salah. “Baik
sains dan agama sampai satu tingkat tertentu bisa overlap; bicara juga soal
benar atau salah. Bicara soal alam ini seperti apa. Bagaimana kita memahami
alam, ” ungkapnya dalam INSISTS Saturday Forum: “Wacana Sains dan Agama”, Jakarta (18/2/17).
Galileo, Newton, Darwin Relijius
Kalau kita
hanya bertumpu pada sains, suatu hasil kajian tidak ada bedanya dengan jurnal-jurnal ilmiah. Di sinilah peran agama memperkaya, melengkapi, dan menguatkan lewat tafsir-tafsir.
“Kalau
berhenti hanya pada sains sebagaimana dalam jurnal-jurnal ilmiah, tidak
memberikan pandangan alam semesta itu seperti apa. Apakah statis atau seperti
apa. Perlu tafsir untuk sampai pada pemahaman: oh, alam ternyata seperti ini. Itu pengetahuan yang bersifat
abstrak tapi kadang manusia butuh juga. Mungkin tidak semua orang, tapi banyak
orang memerlukannya,” jelasnya.
Tafsir
adalah suatu kebutuhan, karena kalau tidak,
kebutuhan itu akan ditutupi dengan cara lain, mitos misalnya. “Kalau tidak ada
pengetahuan seperti itu, orang akan menutupi kebutuhan tersebut dengan cara
lain. Bisa dengan cara sederhana, bisa dengan mitos, bisa dengan macam-macam, tapi
intinya how you make sense of the
universe,” imbuhnya.
Jadi ada
sesuatu yang lebih dalam digali, jika kita memadukan sains dengan agama.
“Ini beda
persoalan dengan 'bisa atau tidak bisa', 'boleh atau tidak boleh'. Ada sesuatu yang lebih dalam. Tapi yang lebih dalam itu tidak diberikan sains saja, harus
ada tafsir agama. Ada tafsir dunia ini seperti apa. Karakteristik alam semesta
seperti apa. Bagaimana kita memahami eksistensi Tuhan,” sebutnya.
Kemudian, setelah 'bisa atau tidak', 'boleh atau tidak', dan 'benar atau salah', muncul persoalan dari aspek kebijakan dan legal.
Zainal melanjutkan, pertentangan antara sains dan agama sudah ada sejak abad ke-15. Bahkan, menurutnya, ilmuwan-ilmuwan Barat seperti Galileo Galilei, Isaac Newton dan Charles Darwin sebenarnya relijius.
“Meski ada cerita Galileo dihukum mati, teori-teori ilmiahnya secara umum membahas tentang agama. Demikian juga Newton, itu semua orang yang sebenarnya menulis juga tentang agama. Newton itu kristen yang tidak percaya trinitas agama,” bebernya.
Kemudian, setelah 'bisa atau tidak', 'boleh atau tidak', dan 'benar atau salah', muncul persoalan dari aspek kebijakan dan legal.
“Ketika
kita bicara kongkret, coba merespon problem yang ada, tidak bisa dibatasi pada
sains dan agama saja, tapi masuk aspek kebijakan, legal. Ada Undang-undang dibawa
ke MK, dan di situ ada perdebatan. Kalau sudah kebijakan, kita bicara bukan
hanya ada muslim, juga orang beragama lain,” paparnya.
Karena
Undang-undang menggunakan hukum positif, perdebatan juga menyangkut banyak
orang.
“Tidak
ada Undang-undang khusus umat Islam. Undang-undang adalah hukum positif yang berlaku
untuk semua. Itu yang akan menjadi persoalan. Bukan hanya perdebatan muslim, perdebatan
banyak orang dalam literatur mengenai multikulturalisme, dsb,” pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar