Rabu, 22 Februari 2017

Tafsir Agama Memperkaya Sains

Bagaimana memadukan sains dengan agama, sementara sains bicara 'bisa atau tidak', sedang agama bicara 'boleh atau tidak'? Menurut Dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Peneliti Tamu PUSAD Paramadina Jakarta, Zainal Abidin Bagir, bukan hanya terkait kedua hal tersebut, timbul juga soal benar atau salah. “Baik sains dan agama sampai satu tingkat tertentu bisa overlap; bicara juga soal benar atau salah. Bicara soal alam ini seperti apa. Bagaimana kita memahami alam, ” ungkapnya dalam INSISTS Saturday Forum: “Wacana Sains dan Agama”, Jakarta (18/2/17).



Galileo, Newton, Darwin Relijius

Kalau kita hanya bertumpu pada sains, suatu hasil kajian tidak ada bedanya dengan jurnal-jurnal ilmiah. Di sinilah peran agama memperkaya, melengkapi, dan menguatkan lewat tafsir-tafsir.

“Kalau berhenti hanya pada sains sebagaimana dalam jurnal-jurnal ilmiah, tidak memberikan pandangan alam semesta itu seperti apa. Apakah statis atau seperti apa. Perlu tafsir untuk sampai pada pemahaman: oh, alam ternyata seperti ini. Itu pengetahuan yang bersifat abstrak tapi kadang manusia butuh juga. Mungkin tidak semua orang, tapi banyak orang memerlukannya,” jelasnya.

Tafsir adalah suatu kebutuhan, karena kalau tidak, kebutuhan itu akan ditutupi dengan cara lain, mitos misalnya. “Kalau tidak ada pengetahuan seperti itu, orang akan menutupi kebutuhan tersebut dengan cara lain. Bisa dengan cara sederhana, bisa dengan mitos, bisa dengan macam-macam, tapi intinya how you make sense of the universe, imbuhnya.  

Jadi ada sesuatu yang lebih dalam digali, jika kita memadukan sains dengan agama.

“Ini beda persoalan dengan 'bisa atau tidak bisa', 'boleh atau tidak boleh'. Ada sesuatu yang lebih dalam. Tapi yang lebih dalam itu tidak diberikan sains saja, harus ada tafsir agama. Ada tafsir dunia ini seperti apa. Karakteristik alam semesta seperti apa. Bagaimana kita memahami eksistensi Tuhan,” sebutnya.  


Zainal melanjutkan, pertentangan antara sains dan agama sudah ada sejak abad ke-15. Bahkan, menurutnya, ilmuwan-ilmuwan Barat seperti Galileo Galilei, Isaac Newton dan Charles Darwin sebenarnya relijius. 

Meski ada cerita Galileo dihukum mati, teori-teori ilmiahnya secara umum membahas tentang agama. Demikian juga Newton, itu semua orang yang sebenarnya menulis juga tentang agama. Newton itu kristen yang tidak percaya trinitas agama,” bebernya.

Kemudian, setelah 'bisa atau tidak', 'boleh atau tidak', dan 'benar atau salah', muncul persoalan dari aspek kebijakan dan legal.

“Ketika kita bicara kongkret, coba merespon problem yang ada, tidak bisa dibatasi pada sains dan agama saja, tapi masuk aspek kebijakan, legal. Ada Undang-undang dibawa ke MK, dan di situ ada perdebatan. Kalau sudah kebijakan, kita bicara bukan hanya ada muslim, juga orang beragama lain,” paparnya.

Karena Undang-undang menggunakan hukum positif, perdebatan juga menyangkut banyak orang.  

“Tidak ada Undang-undang khusus umat Islam. Undang-undang adalah hukum positif yang berlaku untuk semua. Itu yang akan menjadi persoalan. Bukan hanya perdebatan muslim, perdebatan banyak orang dalam literatur mengenai multikulturalisme, dsb,” pungkasnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adil dalam Menyampaikan Ilmu

Salahsatu keutamaan para ulama terdahulu adalah mereka sangat adil dalam menyampaikan ilmu. Tidak serta merta menyalahkan pun tidak mutla...