
Tolak Hadis Tendensius
Bahrul menyontohkan lagi soal Imam Ahmad yang memberi jawaban perihal keluar darah dari hidung (mimisan) ketika shalat.
“Imam Ahmad ketika ditanya bagaimana hukumnya orang shalat lalu keluar darah, mimisan, batal atau tidak. Imam Ahmad mengatakan batal. Tapi Beliau menjawab, kalau saya shalat di belakang Imam Malik, saya tidak akan membatalkan. Karena Imam Malik berpendapat tidak batal orang yang shalat lalu mimisan. Jadi memang ini persoalan ilmu, kalau adil insya Allah umat Islam akan bisa bersatu. Mana yang ushul dan mana yang furu’,” jelasnya.
Kemudian mengenai tuduhan bahwa para ulama ahlusssunah mengakomodir hadis-hadis yang bersifat politis, karena hadis-hadis ditulis di Jaman Kekhalifahan Umayah dan Abasyiah. Bahrul meluruskan, para Muhadisin mengedepankan ilmu. Contoh, sebagian dari mereka memang hidup di jaman kekhalifahan Umayyah tapi mereka fokus kepada keilmuan
“Kosep Ahlussunnah sama sekali tidak ada kaitan dengan politik. Apa buktinya? Ketika Jaman Muawiyah juga banyak ulama hadis yang menjadi, dalam tanda kutip korban. Kalaupun ada politik, bukan jadi fokus, ulama Ahlussunah fokus di keilmuan. Imam Syafi‘i juga ketika di jamannya, beliau juga dimusuhi Pemerintah. Imam Ahmad dicambuki, Imam Hanafi dibunuh,” bebernya.
Saking konsisten pada keilmuan dan penelurusan ketat terhadap sumber-sumber hadis yang akan ditulis, para Muhadisin banyak menolak hadis-hadis yang dianggap tendensius mendukung kekhalifahan tertentu.
“Semua ditulis ketika jaman Umayyah, Abassiyah, betul. Tapi itu sama sekali tidak mendukung Pemerintah. Terbukti para ulama sudah menjadi musuh dan berani. Bahkan banyak hadis yang mendukung Muawiyah ditolak oleh para Muhadisin. Banyak banget. Saya punya kitabnya. Ada pendukung Muawiyah bikin hadis mengenai keutamaan Muawiyah ditolak semua. Demikian juga hadis yang mendukung Ali ditolak semua oleh para Muhadisin karena memang jelas ini tendensius,” pungkasnya.
Bahrul menyontohkan lagi soal Imam Ahmad yang memberi jawaban perihal keluar darah dari hidung (mimisan) ketika shalat.
“Imam Ahmad ketika ditanya bagaimana hukumnya orang shalat lalu keluar darah, mimisan, batal atau tidak. Imam Ahmad mengatakan batal. Tapi Beliau menjawab, kalau saya shalat di belakang Imam Malik, saya tidak akan membatalkan. Karena Imam Malik berpendapat tidak batal orang yang shalat lalu mimisan. Jadi memang ini persoalan ilmu, kalau adil insya Allah umat Islam akan bisa bersatu. Mana yang ushul dan mana yang furu’,” jelasnya.
Kemudian mengenai tuduhan bahwa para ulama ahlusssunah mengakomodir hadis-hadis yang bersifat politis, karena hadis-hadis ditulis di Jaman Kekhalifahan Umayah dan Abasyiah. Bahrul meluruskan, para Muhadisin mengedepankan ilmu. Contoh, sebagian dari mereka memang hidup di jaman kekhalifahan Umayyah tapi mereka fokus kepada keilmuan
“Kosep Ahlussunnah sama sekali tidak ada kaitan dengan politik. Apa buktinya? Ketika Jaman Muawiyah juga banyak ulama hadis yang menjadi, dalam tanda kutip korban. Kalaupun ada politik, bukan jadi fokus, ulama Ahlussunah fokus di keilmuan. Imam Syafi‘i juga ketika di jamannya, beliau juga dimusuhi Pemerintah. Imam Ahmad dicambuki, Imam Hanafi dibunuh,” bebernya.
Saking konsisten pada keilmuan dan penelurusan ketat terhadap sumber-sumber hadis yang akan ditulis, para Muhadisin banyak menolak hadis-hadis yang dianggap tendensius mendukung kekhalifahan tertentu.
“Semua ditulis ketika jaman Umayyah, Abassiyah, betul. Tapi itu sama sekali tidak mendukung Pemerintah. Terbukti para ulama sudah menjadi musuh dan berani. Bahkan banyak hadis yang mendukung Muawiyah ditolak oleh para Muhadisin. Banyak banget. Saya punya kitabnya. Ada pendukung Muawiyah bikin hadis mengenai keutamaan Muawiyah ditolak semua. Demikian juga hadis yang mendukung Ali ditolak semua oleh para Muhadisin karena memang jelas ini tendensius,” pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar