Selasa, 13 September 2016

Islamisasi, Supaya Muslim Tidak Ikut-ikutan

Islamisasi di segala sendi kehidupan bukan ingin mengubah non muslim masuk Islam. Bukan pula suatu gejala fanatisme agama seperti yang dituduhkan, melainkan sebuah upaya menjadikan nilai-nilai Islam sebagai sumber dari aktivitas kehidupan manusia. “ Jadi orang Islamnya yang dibenahi. Adapun setelah itu juga bermanfaat bagi peradaban Barat,  tandas Ustadz Adnin Armas, MA dalam Seminar dan Diskusi Publik  Islam, ilmu dan Peradaban: "Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer” yang digelar di AQL Islamic Center, Jakarta (20/7/13).




Cermin Peradaban

Menurut Direktur Eksekutif Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) ini, Islamisasi menjadi penting karena didapati banyak kekeliruan menghinggapi umat Islam. Ketika bicara nilai-nilai ekonomi, politik, sosial, budaya dan HAM, ia dikosongkan dari nilai-nilai Ketuhanan. Inilah yang perlu diubah. Karena kalau seorang Muslim ikut-ikutan, seperti apa yang terjadi terhadap agama dan peradaban lain, Islam tidak lagi menjadi motivasi nilai dasar kehidupan seseorang muslim.

Lebih lanjut Ustadz Adnin memamparkan, jika upaya ini konsisten dilakukan, Islam bisa  menjadi cermin untuk melihat kekurangan yang ada pada cara pandang Barat. Di bidang ekonomi, ekonomi syariah muncul menjadi cermin untuk ekonomi konvesional. “Islamisasi ini, kalau untuk internal memberi jawaban atas kekeliruan-kekeliruan. Sedang untuk eksternal bisa menjadi cermin”, imbuhnya. Namun, Ustadz Adnin mengakui, untuk mencapainya, masih banyak pekerjaan rumah umat yang harus diselesaikan, dengan berbagai isu terkait ukhuwah, dsb.


Bukan Satu-satunya

Jadi bagaimana islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer dilakukan? Ustadz Adnin mencontohkan, ketika kita mengkaji ayat tentang Isra Mir’aj, karena kita berlatarbelakang fisika kontemporer, lantas membenarkan teori Einstein, misalnya. Ternyata bukan seperti itu. Ketika kita membaca sebuah ayat, yang pertamakali menjadi dasar adalah bagaimana secara ilmu tafsir ayat itu dilakukan. Ayat-ayat yang dikaitkan dengan penemuan ilmiah, berfungsi membantu menjelaskan, bukan menggantikan ayat itu dengan sumber kebenaran yang dibangun di atas penemuan ilmiah tersebut.

“Para sahabat tidak tahu penemuan ilmiah pun menganggap ayat-ayat itu benar. Jadi kebenaran ayat tidak tergantung pada bukti ilmiah. Tidak perlu kita menunggu bukti ilmiah, baru ayat itu benar. Ayat itu benar tanpa atau ada bukti ilmiah. Kalaupun bukti-bukti ilmiah itu ada dan dianggap benar, fungsinya sekadar menjelaskan, bukan menjadi satu-satunya penjelasan. Tetap perlu melihat konteks sebagaimana para penafsir yang ada dan jangan dilepaskan. Kita lihat Fakhrudin Ar-Razi. Seorang ilmuwan yang menulis banyak buku terkait ilmu pengetahuan alam. Ketika menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an, dia tidak lepas dari ayat dengan ayat, ayat diterangkan dengan hadits, dst,” jelas pengurus Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) ini.

Seminar dan Diskusi Publik ini diselenggarakan oleh Young Islamic Leaders yang didukung oleh Komunitas Pembinaan Ilmuwan Islam Indonesia (KPI3), AQL Islamic Center dan MIUMI. Hadir Juga sebagai Narasumber, Ustadz Bachtiar Natsir, Lc. (ark)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adil dalam Menyampaikan Ilmu

Salahsatu keutamaan para ulama terdahulu adalah mereka sangat adil dalam menyampaikan ilmu. Tidak serta merta menyalahkan pun tidak mutla...